Situs ini sedang dalam masa pemeliharaan.

Mengapa DPR Begitu Sangat Menyebalkan: Sebuah Analisa

 

Oleh: Ririn Maharani Salassa*

Mari mengingat kembali apa yang pernah Gus Dur lakukan sekira tahun 2001 bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu sebaiknya dibubarkan saja. Tindakan itu muncul bukan tanpa sebab, hal tersebut dikarenakan produktivitas DPR yang buruk serta adanya rasa tak puas dari masyarakat dengan kinerja lembaga yang katanya mewakili aspirasi rakyat itu. Sehingga, Peristiwa belum lama ini perihal tindakan pembangkangan hukum oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat paripurna pembahasan RUU Pilkada sejatinya tidaklah mengherankan. Dalam konteks norma hukum, tindakan itu setidak-tidaknya melanggar prinsip negara hukum. Sebagaimana DPR menihilkan peran Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi juga sebagai the guardian of the constitution dengan menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan melangkahi aturan mengenai materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang (Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Namun, tindakan a quo apabila dihadapkan pada proses demokrasi elektoral dan bagaimana politik ketidaksetaraan berkembang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, maka apa yang dilakukan DPR adalah keniscayaan tabiatnya.  

Tulisan ini tidak bertujuan mendegradasi semangat gerakan rakyat, namun ia adalah penegasan mengapa lembaga yang mewakili rakyat (DPR) menjadi demikian. Begitu sangat menyebalkan dan minim keberpihakan pada rakyat secara luas. Mari kita cermati bagian-bagiannya.

Pertama, dominasi politik kartel atau politik balas budi sebagai hasil dari prosesi pemilu yang mahal. Mahalnya ongkos pemilu menjadikan peserta pemilu tidak terlepas dari sistem klientelistik seperti pembelian suara. Sehingga, kinerja pejabat terpilih dipengaruhi oleh sistem bayar pasca pemilu bercirikan kebijakan yang dikeluarkannya  berdasarkan pada motif pengembalian anggaran yang dikeluarkan pada proses pemilu. Selain itu, untuk mendapatkan modal dalam pembelian suara, prosesi pemilu menjadi jalan konsolidasi oligarki melalui partai politik sehingga memungkinkan partai politik bergantung pada individu tertentu untuk membiayai partainya. Alhasil para pengusaha cum anggota legislatif yang berasal dari jaringan kroni kapitalisme mendapatkan kedudukannya karena privilese dan konsesi yang didapatkan dari patron politik.

Sementara itu, aturan ambang batas (presidential/parliamentary threshold) juga melanggengkan kekuasaan elit melalui koalisi. Oleh sebab itu, aturan ambang batas sejatinya adalah politik pertahanan elit melalui kartelisasi politik untuk mempertahankan status quo sekaligus membatasi munculnya partai-partai kecil dalam mencalonkan presiden dan kepala daerah (baca: sebelum putusan MK a quo). Akibat dari kartelisasi politik itu yakni relasi eksekutif dan legislatif yang saling menguntungkan, alhasil mekanisme checks and balances tidak lagi berjalan efektif (Noor 2016, 3–4).

Kedua, kelas sosial para anggota parlemen yang tidak merepresentasikan mayoritas masyarakat Indonesia. Dalam riset Warburton et al., tergambarkan bagaimana disparitas kelas antara representatif dan konstituennya. Anggota parlemen di tingkat provinsi berasal dari sektor privat, bisnis dan kontraktor. Berbeda halnya dengan mayoritas populasi yang berangkat dari kelas pekerja (60-70%) (Warburton et al. 2021, 6). Bahkan dalam data Oxfam menerangkan 1% orang Indonesia menguasai 49% kekayaan nasional. Dengan demikian, ketimpangan ekonomi yang tinggi sejalan dengan pengendalian atas kekuasaan. Kekuasaan dalam hal siapa yang memutuskan peraturan, mengendalikan modal dan sumber daya. Ketiadaan representasi berbasis kelas sosial ini adalah wujud pemaknaan demokrasi di Indonesia. Demokrasi diterjemahkan ke dalam kerangka distribusi kekuasaan formal (sistem pemilu) sehingga dengan sendirinya tidak mampu membatasi keterlibatan individu kelas tertentu untuk mempertahankan akumulasi kapitalnya (Khan 2023, 327).

Maka, pada akhirnya parlemen hanya berperan sebagai broker politik dimana politik transaksional masif terjadi dan produk hukum yang dihasilkan sarat akan kepentingan kelompok yang paling diuntungkan. Dengan demikian, praktik culas sekaligus pembangkangan terhadap konstitusi dapat diterka dengan melihat para wakil itu secara asali. Jadi, jika para wakil rakyat yang menyebalkan dan tidak memihak itu terlalu jauh dari peran-perannya, gerakan rakyat harus selalu dipastikan siap untuk membombardirnya!

 

Kepustakaan

Khan, Tareq Hossain. 2023. “Co-Existence of Democracy and Capitalism: A Reflection of Reciprocity or Ideology?” Siyasal: Journal of Political Sciences 32(2): 311–55.

Noor, Firman. 2016. “Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan Oposisi Sebagai Bagian Penguatan Demokrasi Di Indonesia.” Masyarakat Indonesia 42(1): 1–17.

Warburton, Eve, Burhanuddin Muhtadi, Edward Aspinall, and Diego Fossati. 2021. “When Does Class Matter? Unequal Representation in Indonesian Legislatures.” Third World Quarterly 42(6): 1252–75.

 

*Penulis adalah Tim Media di Federasi SERBUK, sekaligus Sekretaris Kanal Muda Yogyakarta

Serbuk adalah serikat buruh yang di dirikan pada 11 Desember 2013.

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.