Pada pembuka tahun 1913, Cokroaminoto memimpin langkah penting bagi kelanjutan perkembangan Sarekat Islam (SI). Tertanggal 26 Januari 1913, dihelatlah rapat akbar pertama SI di Surabaya. Rapat akbar ini disebut-sebut mencontoh apa yang dilakukan Douwes Dekker pada 25 Desember 1912 di Bandung. Rapat akbar Douwes Dekker sendiri dipercaya merupakan vergadering politik pertama di tanah Hindia Belanda.
Sebagaimana yang ditulis Takashi Shiraisi dalam “Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa (1912-1926)”, rapat akbar (dalam istilah Belanda disebut vergadering) di bulan Januari itu dipadati sepuluh ribu massa. Jumlah yang cukup membuat lutut pemerintah kolonial bergetar. Kala itu SI memang tengah memasuki babak barunya, mereka beralih dari metode ronda dan boikot, menjadi mengandalkan koran dan rapat akbar.
Periode itu sendiri merupakan masa pembentukan kembali SI pasca perintah penghentian kegiataan dan tindakan penggerebekan oleh polisi kolonial di Surakarta. Cabang-cabang baru lantas berdiri di Kudus, Semarang, Bandung, Surabaya, Madiun, Ngawi dan Ponorogo. Dan dihelatnya Rapat Akbar di Surabaya, seolah memberi bahan bakar baru bagi pertumbuhan cepat SI. Mereka bukan semata tetap bertahan ada, pun kemudian meluas dan berlipatganda.
Pada 26 Januari 1913 cabang SI tumbuh menjadi 15 cabang dengan jumlah anggota sebesar 80.000. Dua bulan selepas dihelatnya rapat akbar, jumlah cabang dan anggota SI membengkak. Dalam waktu singkat SI telah memiliki 48 cabang yang mewakili 200.000 anggota. Khusus untuk wilayah Surabaya, tempat dimana rapat akbar dihelat, terjadi lonjakan pertumbuhan organisasi secara eksponensial.
Menurut catatan Arsip Nasional Republik Indonesia, jumlah anggota SI di Surabaya mencapai angka 6.000 orang di awal tahun 1913. Dalam kurun satu tahun, anggota SI Surabaya meningkat lebih dari tiga kali lipat. Berdasarkan data tahun 1914, anggota SI untuk kawasan Surabaya menjadi 23.000 anggota. Terlihat sekali bagaimana SI tumbuh melalui cara yang benar dalam menyalurkan semangat dan partisipasi massa, satu diantaranya lewat rapat akbar.
Dan perihal rapat akbar, sebagai kaidah menyatukan kekuatan rakyat, rasanya sukar untuk tidak menyebut rapat raksasa Ikada sebagai epos penting sejarah perjuangan pembebasan nasional di Indonesia. Seperti sejarah menulisnya dengan tinta emas, demi maksud mendukung dan mempertahankan republik muda yang baru berdiri, pada 19 September 1945 digelar Rapat Raksasa Lapangan Ikada. Adapun Lapangan Ikada sekarang dikenal sebagai Lapangan Monas.
Imam Soedjono dalam “Yang Berlawan” menyatakan, hari diwaktu rapat raksasa digelar, sejak pagi rakyat datang bergerbong-gerbong dari Cikampek, Bogor, Tangerang, Cirebon, Tegal, Bandung, dan Banten. Tentu pemerintah pendudukan Jepang tidak tinggal diam melihat animo massa yang meluas. Mereka menempatkan pasukan, tank dan kendaraan lapis baja demi maksud mengintimidasi. Namun nyali rakyat sama sekali tak kisut, mereka tetap mengalir menuju Lapangan Ikada. Sebanyak 200.000 massa terkumpul.
Walau tak sekondang Rapat Raksasa Lapangan Ikada, pada bulan yang sama “arek-arek Jawa Timur” juga menyelenggarakan hajatan serupa di dua tempat di Surabaya. Tambaksari dan Pasar Turi. Berdasar tulisan Frank Palmos, “Surabaya 1945: Sacred Territory, The First Days of the Indonesian Republic” sebagaimana dikutip Majalah Historia, 25/9/2018, sebanyak 100 ribu rakyat membanjiri rapat akbar tersebut dengan memuntahkan pekik “Merdeka! ….Merdeka! …Merdeka!” senyaring-nyaringnya.
Versi lain dari peristiwa monumental ini dijelaskan Soemarsono, dalam memoar berjudul “Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 yang Dilupakan”. Rapat akbar di Pasar Turi dihadiri tidak terlalu banyak massa rakyat. Sebaliknya, rapat akbar di Tambaksari diklaim dibanjiri setengah juta massa rakyat. Rapat akbar itu dihadiri pula oleh tokoh-tokoh pergerakan antara lain Ruslan Widjajasastra (Angkatan Muda Minyak), Kapten Sapia (eks perwira pemberontak Kapal Zeven Provincien pada 1933), serta Soemarsono sendiri.
Berdekade lamanya selepas peristiwa-peristiwa penting sejarah itu berlalu, Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI) baru-baru lalu memutuskan akan menghelat serangkaian rapat akbar di berbagai daerah. Rangkaian kegiatan tersebut akan berpuncak pada aksi nasional pada 8 Desember 2018 di Jakarta. Ini merupakan keputusan penting KPBI dalam upaya menaikkan kembali gelombang gerakan buruh yang tengah surut. Pastinya KPBI melek akan sejarah, darimana tradisi rapat akbar berasal dan mengakar dalam perjuangan rakyat Indonesia.
Rapat akbar senyata-nyatanya merupakan warisan agung rakyat tertindas negeri ini. Para pendahulu angkatan menemukan alat-alat perjuangan rakyat dan gerak jaman telah mengujinya dengan valid. Warisan ini bukan semata untuk dibaca, diangguk-angguki atau dijadikan kekayaan pustaka. Namun, mesti dilanjutkan! Maka wahai klas buruh, lanjutkan warisan besar itu! Ayo semarakkan Rapat Akbar KPBI! Banjirilah dengan sebanyak-banyaknya massa!! (Saif Roja)
***