Dengan suara yang datar dan tanpa emosi, Sumanto bercerita tentang kondisi kerjanya yang semakin memburuk. Sumanto, adalah buruh outsourcing yang bekerja di PT PLN, BUMN yang menghasilkan listrik.
Tugasnya mencatat meter, yang tiap akhir bulan berkeliling mendatangi rumah pelanggan, melakukan pemeriksaan dan pencatatan KWH meter, dan mencatat berapa banyak listrik yang dikonsumsi pelanggan. Dari data yang dikumpulkannya, PLN menetapkan berapa kewajiban pelanggan harus membayar tagihan. Artinya, kalau Sumanto dan kawan-kawannya tidak bekerja, PLN tidak punya data dan itu artinya PLN tidak bisa menagih uang dari pelanggan. Artinya lagi, dapat dikatakan, betapa penting tugas Sumanto menjalankan pekerjaan yang sudah dijalankan sejak 15 tahun lalu.
Meskipun sudah bekerja selama 15 tahun, Sumanto tidak boleh dan tidak bisa mengaku bahwa dirinya pegawai PLN. Alasan pertama: pegawai PLN tidak pernah mau menyebut dirinya buruh, tapi lebih bahagia disebut pegawai. Kedua: Sumanto dan kawan-kawannya bukan pegawai PLN, tapi disebut mitra PLN semata.
Hal itu dikarenakan, Sumanto memang tidak pernah membuat kontrak kerja dengan PLN. Sejak 15 tahun lampau, dia menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan yang menjadi “REKANAN” PLN. Awalnya rekanan itu berbentuk koperasi, entah koperasi milik siapa. Tapi, koperasi kemudian berubah menjadi perusahaan; sebut saja PT. Waluya Abadi (WA). Kontraknya hanya berdurasi dua tahun. Lalu ganti lagi, kontrak dengan PT. Wahana Selaras (WS) dengan durasi dua tahun juga. Bisa dikatakan, selama 15 tahun bekerja menjadi tukang pencatat meter, Sumanto sudah berpindah kerja sebanyak 7-8 kali. Melelahkan memang!
Selain melelahkan, hidupnya juga tanpa jaminan. Kalau pegawai PLN gajinya sangat tinggi, kerja dengan pakaian bersih, bekerja di kantor, dapat THR, dan bonus dalan jumlah yang lumayan tinggi, serta menyandang status sebagai pegawai BUMN yang mentereng, dirinya tak pernah mendapatkan hak itu, meskipun kerjanya terang benderang: mengurusi segala hal berkaitan dengan listrik yang tiap hari dinikmati masyarakat Indonesia.
Bersama dirinya, ada Arman yang bekerja pada bagian lain disebut pelayanan teknik atau biasa disebut YANTEK. Tugasnya memastinya listrik mengalir melalui kabel-kabel dan gardu listrik tanapa gangguan. Ketika hujan badai dan petir menyambar tiang listrik, memadamkan gardu listrik, dan mengakibatkan padamnya aliran listrik, bagian YANTEK inilah yang sigap bekerja, naik tiang yang tinggi, bergelantungan, dan menyabung nyawa di atas sana. Sungguh kerja yang bahaya.
Baik Sumanto maupun Arman bekerja tanpa fasilitas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang memadai. Berkali-kali, koran, televisi, media maya menuliskan berita, ada pegawai PLN (maksud saya buruh outsourcing PLN!) yang tewas tersengat listrik pada ketinggian di atas tiang listrik. Koran, televisi, dan media maya hanya butuh cerita dramatis bagaimana buruh outsourcing itu dievakuasi, sambil ditutup dengan berita heboh yang tujuannya cuma satu: menaikkan rating televisi. Media, tak punya kepentingan apapun membuka nasib dan kondisi buruh outsourcing PLN yang bertahun-tahun hidupnya tersengat nasib buruk.
Sumanto kemudian melanjutkan ceritanya, sebagai pencatat meter, tugas utamanya adalah mencatat meteran listrik. Tapi, tugas itu masih bertambah lagi ketika menemui pelanggan yang menunggak 2-3 bulan. Kebijakan PLN memang menyatakan bahwa pelanggan yang menunggak pembayaran uang istrik, kwh meternya akan disegel dan pada akhirnya dicabut. Untuk alasan efisiensi, PLN memaksa petugas catat meter juga berfungsi sekaligus untuk petugas memutus aliran listrik dengan cara mencabut kwh meter. “Pekerjaan ini berbahaya, sebab kami bekerja mencabut meteran listrik yang masih dialiri arus besar tanpa alat keselamatan,” cerita Sumanto. Sungguh, pertaruhan yang tak seimbang dengan nyawa sebagai agunannya!
Arman menambahkan cerita duka yang disampaikan Sumanto. Meskipun mereka berasal dari vendor yang sama bernama PT. Domba Energi Indonesia (DEI), tapi perlakuan terhadap mereka tidak sama. Sumanto yang bekerja di rayon Solo mendapatkan fasilitas bernama Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Lembaga ini bertugas memotong upah Sumanto dan kemudian memasukkannya ke dalam rekening. Itulah yang disebut sebagai dana pensiun. Sumanto bingung, sepanjang yang ia tahu, potongannya berubah-ubah tapi pasti. Pernah besaran potongannya Rp. 320.000, lalu menjadi Rp. 240.000, dan kadang-kadang Rp. 258.000. Apakah dana tersebut dikorupsi? “Entahalah, sebab saya tak pernah memegang buku tabungan dan jumlah potongan uang pensiun itu tak pernah tercantum dalam slip upah saya,” jelas Sumanto dengan pelan.
Arman bercerita, nasibnya lebih buruk dibanding Sumanto. Meskipun dia bekerja pada PT. DEI (sama seperti Sumanto), dia dan teman-temannya yang bekerja di rayon Semarang tidak pernah mendapatkan informasi apapun mengenai DPLK. “Bagaimana mungkin, kami bekerja di perusahaan vendor yang sama tapi nasib dan perlakuan kami berbeda?” gugat Arman.
Cerita Sumanto dan Arman belum selesai. Disamping perlakuan yang berbeda dan diskriminatif, mereka juga terbebani dengan berbagai denda ketika bekerja tak sesuai target. Menurut Sumanto, sebagai pencatat meter, terkadang dia menemui kondisi rumah pelanggan yang rumahnya tertutup, padahal KWH meter terpasang di teras yang tidak bisa dijangkauanya. Menemui kondisi seperti itu, Sumanto menambahkan keterangan dalam laporannya bahwa KWH meter tak terjangkau karena rumah pelanggan tertutup. Kalau kondisi itu terulang lagi pada bulan berikutnya, PLN menetapakan kebijakan yang merugikan dirinya: Sumanto dikenai denda yang besarnya ditentukan sebesar Rp. 1000 per kwh.Bisa dibayangkan, kalau pelanggan menggunakan listrik 200 kwh, dipastikan dia akan kehilangan uang sebesar Rp. 200.000. Sungguh ironis!
Kumandang adzan Ashar terdengar sayup-sayup dari kejauhan, ketika Sumanto dan Arman menutup cerita dukanya. Cerita duka ini bukan semata milik mereka berdua, tapi ribuan buruh outsourcing yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Hidup bersabung nyawa, penuh tragedi, ancaman kematian. Bekerja seperti uji nyali dan dipanggang matahari, setiap detiknya seolah disengat ancaman bahaya.
Berterima kasihlah pada mereka, buruh outsourcing PLN! Setiap pendar cahaya yang masuk ke dalam ruang kerjamu, handphone yang tak berhenti menerima pesan, air panas yang dididihkan diatas kompor, dan semua peralatan elektronika di rumahmu: semua dihidupkan oleh listrik yang dikerjakan oleh buruh outsourcing. Kepada mereka, seharusnya kita hormat dan respek! (khi)