Sumber gambar: kompas.com |
Di penghujung April itu Ia menghisap rokok di luar ruangan sebelum acara dimulai. Perawakannya kurus, tenang, dan mengenakan topi pet yang bersahaja. Nampak beberapa anak muda mengelilinginnya. Percakapan santai tentang Jakarta, kemacetan, dan pertumbuhan penduduk bergulir singkat. Tak berselang lama, panitia memanggil. “Acara sudah siap dimulai, Pak Faisal Basri. Mari masuk,” ujarnya.
Kami yang hadir pada seminar itu tidak bisa tidak berdecak kagum pada figur Faisal Basri. Di usianya yang sudah menginjak 60-an, sosoknya tetap ramah, santai, sekaligus tidak mengendurkan daya kritisnya pada pemerintahan. Dalam sesinya, Ia berkali-kali menyoroti penurunan indeks demokrasi dan kebijakan pemerintah yang semakin menurunkan kesejahteraan masyarakat —yang apabila diterus-teruskan hanya akan mengarah pada kehancuran yang tidak terelakkan.
Dalam beberapa wawancara, Faisal Basri yang dikenal sebagai politikus, ekonom, dan pengamat kebijakan publik itu memang seringkali mengungkapkan kritik dan analisa tajamnya pada kekuasaan. Bahkan dalam salah satu episode podcast yang enam bulan lalu dirilis di Kanal Youtube, Ia tidak ragu menyebut nama Airlangga Hartanto (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian) dan Bobby Nasution (Wali Kota Medan 2021–2024) terlibat dalam bisnis gelap perdagangan bijih nikel berdasarkan data yang diolah bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lelaki yang pada era reformasi pernah terlibat menjadi pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) ini memang beberapa kali menjadi rujukan utama banyak orang dan institusi dalam melihat peta ekonomi dan demokrasi yang sedang berlangsung. Sebagai lulusan sarjana ekonomi Universitas Indonesia dan Universitas Vanderbilt Nashville Amerika serta pengalamannya di berbagai palagan politik, akademis, dan gerakan Ia mampu memberikan kontribusi pemikirannya yang tajam dan mendalam. Ia membuka diri dengan banyak sekali diskusi kritis, debat, dan pertemuan-pertemuan strategis sebagai koreksi dan peran pembangunan Indonesia ke depan.
Pagi itu, di permulaan September ini, seolah tanpa pertanda, beberapa media merilis berita yang menghentak. Ekonom Senior Faisal Basri Telah Berpulang. Seketika kami tidak bisa dibuat tidak terperanjat dengan berita-berita itu. Pasalnya, kami di Federasi SERBUK, selain cukup aktif mengikuti beberapa analisanya belakangan ini, kami juga berencana mengundangnya sebagai salah satu pembicara di acara pembukaan kongres kami tahun depan.
Faisal Basri adalah salah satu dari sedikit tokoh nasional yang kami ketahui memiliki perhatian lebih pada serikat pekerja dalam pernyataan-pernyataannya. Dua tahun lalu, dalam siniarnya bersama Gita Wirjawan, Ia menjawab sesi pertanyaan besar tentang proyeksi demokrasi Indonesia tahun 2045. Dengan mantap, Ia menjelaskan bahwa yang mendorong demokrasi adalah kelas pekerja. Serikat pekerja ini kemudian perannya menjadi luar biasa. Serikat pekerja yang kuat akan mempercepat proses memajukan demokrasi karena daya kritisnya. “Merekalah yang di garda terdepan dalam ekonomi,” ucapnya. Bahkan, Ia memiliki prediksi tersendiri pada kondisi kelas pekerja di tahun 2045. Ia mengatakan bahwa kondisi saat itu kelas pekerja bisa jadi akan sangat berbeda. Tidak sekadar mengutak-atik Upah Minimum Provinsi (UMP) lagi, tapi nanti bisa terjadi mekanisme demokratisasi ekonomi dalam bentuk kepemilikan di dalam perusahaan. Ia juga menegaskan bahwa konsep solidaritas atau kolaborasi itu akan lebih berkembang. Selain itu, aspirasi yang tinggi dari generasi baru yang membutuhkan keadilan dan meruntuhkan patrimonialisme serta feodalisme pada akhirnya menciptakan kualitas demokrasi yang lebih tinggi.
Senada dengan itu, saat seminar di Jakarta pada penghujung April itu kami sempatkan mengangkat tangan dalam sesi tanya jawab yang berlangsung. “Bagaimana argumentasi lebih lanjut dari proyeksi masa depan serikat pekerja yang pernah disampaikan beberapa waktu sebelumnya? karena rasanya kami kurang mendapat penjelasan yang lengkap,” tanya kami. Ia menjawab dengan uraian yang cukup panjang. Garis besarnya, Ia menyebut angka kepadatan serikat pekerja di Indonesia sebetulnya jauh lebih kecil dari data yang dirilis pemerintah. Kalau data pemerintah ada di kisaran angka 11 %, data yang riil di lapangan bisa hanya 4-5%. Tapi tetap saja, Ia optimis dengan serikat pekerja. Ia juga mengapresiasi, sekaligus menyoroti kelahiran kembali partai buruh sebagai kekuatan penting yang perlu dikelola dengan optimal. Ia menyebutkan bahwa salah satu ciri-ciri negeri ini akan membaik nanti akan terlihat dari gerakan serikat pekerjanya yang semakin maju. Ia percaya bahwa itu akan terjadi. Serikat pekerja di Indonesia saat ini sudah mulai menata dirinya. Mengupayakan jaminan sosial yang lebih baik. Sudah mulai membicarakan konsep negara sejahtera. Juga meluaskan perjuangannya ke berbagai lini, seperti pendidikan, lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat luas.
Kemarin, dalam duka mendalam kamis tertanggal 5 September itu, Goenawan Mohammad menuliskannya dengan liris. “Saya sedang di Yogya. Faisal meninggalkan kita tiba-tiba. Baru 65 tahun. Saya lihat tubuhnya tambah kurus akhir-akhir ini, sementara suaranya makin lantang, makin marah. Suara yang tak pernah culas. Faisal Basri meninggal. Kehilangan kita amat terasa karena Faisal adalah tauladan cendekiawan dan aktivis yang langka. Ketika ‘pelacuran intelektual’ berkembang biak di Indonesia kini, Ia tak menjual diri kepada penguasa, dinasti, partai, bisnis besar. Ia tak tergoda harta dan tahta. Ia biasa hidup sederhana.”
Sekali lagi, selamat berpulang Bung Faisal Basri. Terimakasih telah memberi arti penting bahwa serikat pekerja adalah salah satu harapan besar negeri ini. Semoga harapan itu bisa terus kami jaga pendar cahayanya!
**
Yogyakarta, 6 September 2024
Mh Maulana