Oleh: Ririn Maharani Salasa*
Revisi atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) menyisakan polemik di
masyarakat. RUU a quo meninggalkan kontroversi dan semakin menjauh dari
hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat serta akses terhadap informasi
sebagaimana amanat konstitusi. Sebagai perjanjian politik, konstitusi sejatinya
bukanlah produk hukum pemerintah dalam mengelola negara. Sebaliknya ia
berfungsi sebagai aturan yang dikehendaki oleh masyarakat dan bagaimana mereka
menginginkan pemerintah mengelola negara (Mochtar & Rishan, 2022). Sehingga hak asasi sebagaimana yang dimaksud mengikat
penyelenggara negara. Namun, munculnya RUU a quo berpotensi
mengarusutamakan kepentingan politik, termasuk identitas keagamaan,
menyingkirkan oposisi atau kelompok pengusik kekuasaan oligarki sebagaimana
keberlakuan UU ITE(Wiratraman & Lafrance, 2021).
Data yang dilansir dari
CNN Indonesia (Indonesia, 2024) menunjukkan dalil problematik dalam RUU a quo
meliputi; (1) KPI berwenang menangani sengketa jurnalistik. Hal ini
bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang
menjelaskan bahwa kewenangan menyelesaikan sengketa pers dilaksanakan oleh
Dewan Pers; (2) Standar Isi Siaran (SIS) yang mengatur mengenai larangan
penayangan jurnalisme investasi. Klausul ini jelas tidak sejalan dengan Pasal 4
huruf q UU Pers yang mengatur bahwa tidak lagi ada penyensoran, pembredelan,
pelarangan karya jurnalistik termasuk liputan jurnalisme investigasi; (3)
larangan penayangan konten LGBT. Pasal 50B Ayat (2) huruf g mengatur bahwa
penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian,
homoseksual, biseksual dan transgender; dan (4) larangan penayangan soal
pencemaran nama baik. Pada Pasal 50B Ayat (2) huruf k menyebutkan bahwa
penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah,
penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan dan
radikalisme-terorisme. Dalam tulisan ini, kritik atas RUU Penyiaran akan
dibahas dalam sudut pandang ketentuan hukum melalui tumpang tindih aturan serta
kemunduran demokrasi dalam menyoal pembatasan hak kebebasan berpendapat juga
akses terhadap informasi.
Eksistensi Komisi
Penyiaran Indonesia dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik adalah bentuk
dualisme kewenangan. Bahwa dalam UU Pers, sengketa jurnalistik diselesaikan
melalui Dewan Pers. Tumpang tindih kewenangan tersebut terang tidak
mengakomodir makna kepastian hukum sebagai asas pembentukan peraturan
perundang-undangan. Walaupun asas peraturan perundang-undangan mengenal lex
posteriori derogate legi priori (hukum baru mengesampingkan hukum lama)
namun asas tersebut hanya berlaku sejauh undang-undang yang dimaksudkan
mengutamakan hak dan kepentingan masyarakat luas. Dalam hal ini, pasal yang
dinilai melanggengkan represifitas negara tidak layak dimuat dan dibahas lebih
lanjut karena tidak sejalan dengan semangat UU Pers dan mengabaikan hak asasi
yang dimuat dalam UUD NRI 1945.
Lebih dari itu, dalil
problematik di atas berpotensi mengulang pola represifitas negara melalui
aturan hukum. Pada tataran implementasi, produk hukum yang represif turut
mempertahankan kekuasaan rezim otoriter dalam 3 (tiga) dekade. Hadiz dan
Robison berpandangan bahwa pasca runtuhnya Orde Baru yang diikuti oleh era
reformasi tidak mampu untuk meniadakan agenda sosial dan politik illiberal yang
dibangun secara sistemik di bawah rezim Suharto. Trajektori demokrasi adalah
keniscayaan untuk membangun kembali (reconstitute) aktor lama dengan
kendaraan politik dan institusi yang baru. Walaupun akor demagog terfragmentasi
dan tidak terorganisir (Hadiz & Robison, 2004). Pada
dasarnya, agenda pembatasan kebebasan sejatinya telah
berlangsung lama. Sebagaimana pola itu tercermin dalam UU ITE. Hal ini menjadi
niscaya karena faktor struktural dalam tingkat negara dan lembaga politik yang
dipengaruhi oleh residu Orde Baru. Aktor-aktor rezim otoriter dengan agenda
illiberal masih menempati kekuasaan kontemporer sehingga cita-cita demokrasi
liberal meliputi hak warga negara untuk memberikan kritik terhadap pemerintah
dan mengekspresikan gagasan politik dan sosialnya secara terbuka dan bebas
tidak diakomodasi dengan baik dalam rezim ini.
Padahal hak kebebasan
merupakan agenda reformasi. Sebagaimana hal tersebut juga menjadi bagian dari
penguatan demokrasi pasca runtuhnya rezim otoritarian. Di bawah rezim
demokrasi, kebebasan pers dalam menjalankan mekanisme check and balances
berlaku mutlak. Artinya, pelemahan atas institusi pers juga kerja jurnalistik
adalah bentuk kemunduran demokrasi. Karakteristik kemunduran demokrasi yang
juga dimaknai sebagai illiberal demokrasi dimana proses pemilihan umum masih
berjalan namun juga diiringi dengan pembatasan kebebasan sipil juga ketiadaan
supremasi hukum (rule of law) (Zakaria, 1997).
Pembatasan kebebasan pasca reformasi bagi masyarakat
secara umum, aktivis, jurnalis dan peneliti secara khusus melalui mekanisme
aturan hukum berpeluang meningkatkan self-censorship. Setiawan (Setiawan, 2022) menunjukkan bahwa
terdapat persentasi pembungkaman mandiri (self-censorship) sebesar 62,9%
oleh masyarakat. Maka, klausul a quo dalam RUU Penyiaran, sekali lagi¸
harus ditiadakan.
*Penulis adalah Kontributor Utama Media SERBUK, KP-Komite Perempuan, dan menjabat sebagai sekretaris Kanal Muda
Kepustakaan
Hadiz,
V., & Robison, R. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics
of oligarchy in an age of markets. Routledge.
Indonesia,
C. (2024). Poin-poin Kontroversial dalam RUU Penyiaran. CNN Indonesia.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240528202717-32-1103069/poin-poin-kontroversial-dalam-ruu-penyiaran
Mochtar,
Z. A., & Rishan, I. (2022). Autocratic legalism: the making of Indonesian
omnibus law. Yustisia, 11(1), 29–41.
Setiawan,
K. M. P. (2022). Vulnerable but Resilient: Indonesia in an Age of Democratic
Decline. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 58(3), 273–295.
https://doi.org/10.1080/00074918.2022.2139168
Wiratraman,
H. P., & Lafrance, S. (2021). Protecting Freedom of Expression in
Multicultural Societies: Comparing Constitutionalism in Indonesia and Canada. Yuridika,
36(1). https://doi.org/10.20473/ydk.v36i1.24032
Zakaria,
F. (1997). The rise of illiberal democracy. In Foreign Affairs (Vol. 76,
Issue 6). https://doi.org/10.2307/20048274