Oleh: M. Husain Maulana*
Tiba-tiba semua
yang merupakan Amerika Latin terbayang di pikiran saya: Fidel Castro, Havana,
Ernesto "Che" Guevara, Karibia, Ken Karol Kariola, Pablo Nerruda,
Chavez, Simon Bolivar, Jose Marti, Camila Vallejo –dan yang lain-lain tentu
saja, karena sebuah buku fiksi tentang satu sejarah di Republik Dominika: Kisah
tentang martir perjuangan –Para kupu-kupu.
Mereka disebut
Mariposa. Tiga bersaudari dari keluarga Mirabal yang menggunakan sandi nama
latin kupu-kupu sebagai penyamaran dalam gerakan bawah tanah. Julia Alvarez
yang merupakan penulis novel –berdasarkan kisah-nyata tersebut– merangkainya
dengan utuh dan sangat berhati-hati. Terasa sekali dari bagaimana ia memberikan
nyawa pada setiap tokoh dan alur yang dibangunnya. Empat bersaudari Mirabal itu
ia jadikan sebagai sudut pandang cerita.
"Menerima
tawaran pengampunan berarti kami mengakui kami melakukan sesuatu yang
memerlukan pengampunan. Selain itu, kami tidak boleh menerima pembebasan,
kecuali orang lain juga mendapat kesempatan yang sama." (Ucapan Minerva, hal.
411)
Selama membaca,
saya hampir selalu menunggu bagian tentang Minerva dan Manolo. Kedua tokoh itu
memiliki kepribadian dan keberanian yang tangguh dan kuat. Seperti kondisi
ketika Minerva berada dalam penjara. Ia menolak tunduk. Keteguhannya menguatkan
semua orang. Dan cinta pada suaminya, Manolo, terus berkobar dalam perjuangan
pembebasan dan revolusi.
"Kamerad,
kita memang mengalami kemunduran, tetapi kita belum kalah. Merdeka atau
mati." (Manolo, hal. 406)
"Kita
tidak boleh membiarkan kediktatoran lain menguasai kita... bangkitlah,
penuhilah jalanan! Bergabunglah dengan pasukanku dan aku di pegunungan! Jika
kau mati demi negaramu, maka kematianmu tidaklah sia-sia!." (Manolo,
hal. 537)
Daya juang
Manolo untuk tetap optimis berkali-kali digambarkan dalam cerita ini. Ia
bersikap keras pada pemerintahan rezim ototiter Trujillo. Sampai ia mati pun,
barisan gerilya yang dipimpinnya tak pernah menyerah. Ini yang saya suka. Novel
ini menguatkan pembacanya dan tidak menggambarkan apa yang banyak orang sebut
dengan 'kecelakaan kiri', di mana orang yang kritis dan berjuang pasti
mengalami takdir yang payah, hidup yang sulit, dan sia-sia. Meskipun pada
akhirnya semua tokoh mati, kecuali Dede, semangat dan sikap para pejuang Dominika
tersebut penuh kebahagiaan serta siap berkorban apa saja untuk generasi yang
lebih baik berikutnya.
Tahun-tahun
dalam penggalan novel ini juga boleh dibilang merupakan titik kebangkitan
Amerika latin. Berawal keberhasilan Fidel Castro dan Che Guevara di Kuba,
pergolakan perlawanan atas penindasan berkobar di mana-mana. Terutama di
Dominika. Minerva dan Maria Teresa sering sekali meyakinkan diri dengan ucapan
Castro yang sering disiarkan diam-diam di Radio.
"Penjarakan
aku, tak apa. Sejarah akan membebaskanku." (Castro, hlm. 218)
Pendidikan, meskipun
dengan segala keterbatasan, di penjara sekalipun menjadi penting. Minerva
bersikap sangat tegas untuk semua tahanan perempuan. Terlebih untuk saudarinya:
Patria dan Maria Teresa. Berkali-kali ia menguatkan keteguhan semua tahanan
untuk menolak menyerah. Tak ada kebebasan yang muncul tanpa perjuangan. Dan
kemerdekaan adalah harus berarti untuk semuanya.
"Kami baru
saja mengakhiri sekolah kecil-kecilan kami yang menurut Minerva harus dilakukan
setiap hari, kecuali hari minggu. Kurasa Fidel melakukan ini juga di penjara
Isle of Pines, jadi kami harus melakukannya." (Maria
Teresa, hlm. 407)
Dan tepat di
tanggal 7 Agustus 1960. Langit karibia sedikit nampak lebih cerah. Sesekali
angin pegunungan berhembus tenang. Bersamaan dengan itu juga, Perjuangan para
perempuan kupu-kupu tersebut berbuah hasil. Berdasarkan penyelidikan OAS dan
laporan Maria Teresa pada organisasi antar negara di Amerika Selatan tersebut,
akhirnya semua tahanan perempuan dibebaskan. Ya, tahun-tahun panjang itu telah
berakhir.
Empat
bersaudari itu akhirnya berkumpul kembali bersama ibunya: Dona Mercedes. Maria
Teresa (anak keempat) yang pemalu dan selalu menulis di buku harian, Patria
(anak pertama) yang religius, Minerva (anak ketiga) yang tegas dan paling
berani, serta Dede (anak kedua) yang selalu khawatir dan satu-satunya anak keluarga
Mirabal yang tak dijebloskan di Penjara. Mereka kemudian berkumpul bersama
bayi-bayi dan anak-anaknya. Sementara itu, perjuangan masih berlanjut. Suami
mereka masih ditahan. Mereka harus selalu dikunjungi. Dikuatkan. Karena
perjuangan untuk menghancurkan rezim Trujillo juga belum selesai.
Novel ini
menggambarkan kehidupan tokohnya dengan cukup detail. Mulai dari masa kecil,
masa puber, gejolak keluarga, kesulitan ekonomi, dilema untuk pilihan, suasana
penjara, kematian, bahkan kondisi batin Dede dan anak-anak saudarinya yang
tersisa dari pembunuhan berencana, juga kronologi tahun yang menjadi kunci
capaian-capaian perjuangan.
Saya lalu
bersepakat. Cara berjuang dalam cerita ini juga tak melulu bersembunyi dibalik
jargon kedamaian dan kemanusiaan universal. Terbukti mereka, para tokoh itu,
memiliki keberpihakan yang jelas pada rakyat jelata. Tidak melulu soal
intelektual yang memiliki kebebasan atas apa yang bisa diperbuatnya. Hal itu
pun masih ditambah dengan penggambaran mengenai para pendeta dan jemaat Gereja
yang bersatu padu untuk menyiapkan pergerakan massa untuk perubahan. Kuncinya:
kekuatan berada di tangan orang banyak.
Suasana gereja
progresif dan perjuangan memang terasa kental dalam nuansa cerita –mungkin juga
semangat zaman saat itu. Patria mengalami kebangkitan untuk ikut dalam barisan
revolusi pun disebabkan peristiwa di dalam gereja. Pendeta yang bijak itu –setelah
terjadi ledakan dan menyaksikan seorang anak tewas, ia membacakan khotbah untuk
menggerakkan umatnya.
"Yesus
telah bersabda: aku datang dengan pedang serta bajak untuk membebaskan
orang-orang yang tertindas." (Hlm. 286)
"Voz del
pueblo, Voz del Cielo. Yang artinya suara rakyat adalah suara Tuhan." (Hlm.
347)
Saya pun
mencatat hal-hal kecil perihal bagian percakapan yang mungkin biasa saja di dalam
cerita. Barangkali lebih pada sisi tokoh-tokoh sebagai manusia biasa dalam
kehidupan sehari-hari. Tempat di mana prinsip dan kebijaksanaan dibangun dan
dibiasakan.
"Pria
dipercaya karena kata-katanya.”
(Ucapan di kerumunan, hlm. 184)
"Itu bukan
keberanian, itu akal sehat." (Ucapan Lio, hlm. 135)
"Betapapun
besar keinginannya untuk memiliki pemikiran yang menarik, tetapi menurutnya
laki-laki tetap laki-laki dan perempuan tetap perempuan. Dan ada batasan yang
pasti, yang tak dapat diubah dengan revolusi." (Ucapan
Dede, hlm. 133)
“Sekali seorang
wanita (bercinta) bersama wanita, ia tak bisa lagi bersama lelaki.” (Obrolan
di penjara, hlm. 430)
Dan
lain-lain...
Hingga suatu
senja. Pada hujan di bulan November. Maria, Minerva, Patria, dan supirnya:
Rufino. Sedang asyiknya bersenda gurau di dalam mobil selepas mengunjungi
suaminya di Penjara. Minerva melontarkan lelucon pada mereka semua,
"Sesuatu apa yang keras saat dimasukkan dan lunak saat dikeluarkan?"
Tak ada yang bisa menjawab. Barangkali karena malu untuk menjawab jorok.
Minerva menjawab leluconnya sendiri, "Jawabannya adalah kacang polong yang
direbus dalam air mendidih" Semuanya lalu tertawa. Dan tawa itu,
sebagaimana yang diceritakan, menjadi tawa terakhir mereka.
Tepatnya tanggal
25 November 1960, mereka dibunuh. Esoknya mobil mereka ditemukan di dasar
jurang. Ada bekas luka pada jasad tiga bersaudari itu ketika dimandikan oleh
Dede. Beberapa tahun setelah peristiwa itu Manolo terbunuh. Lalu Trujillo
diturunkan dari kekuasaannya. Dan di tahun 1999, PBB menetapkan tanggal
kematian mereka bertiga –para kupu-kupu dominika itu– menjadi hari penghapusan
kekerasan terhadap perempuan.
Julio Alvarez
berhasil mengemas semua cerita itu dengan baik. Ia, Julia Alvarez, perempuan kelahiran
Dominika yang saat peristiwa itu terjadi, usianya masih 10 tahun. Ia
menceritakan ulang legenda negerinya tersebut dengan medium karya sastra dengan
penuturan yang mendalam.
"Bagaimanapun,
Novel bukanlah dokumen sejarah, melainkan cara untuk menempuh perjalanan
melalui perasaan manusia."
(Julio Alvarez, hlm. 560)
Novel ini
dicetak pertama kali tahun 1994. Tujuh tahun setelahnya novel ini difilmkan
dengan judul yang sama. Dan baru pada tahun 2012, Novel ini diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh penerbit Serambi dengan Istiani Prajoko sebagai
penerjemahnya.
Saya akui, saya
kurang begitu suka wajah sampulnya yang terkesan terlalu popular dan mainstream
untuk karya yang begitu luar biasa ini. Begitu juga testimoni atau endorsemen
yang terlalu banyak. Awalnya saya mengira novel ini mungkin sama saja dengan
beberapa novel mainstream yang terlalu picisan seperti yang lain. Untungnya:
dugaan saya salah. Dan pepatah itu benar, “Don’t judge Book by its cover.”
Saya terkesan
dengan Julia Alvarez yang dalam penutupnya juga mengatakan bahwa ia tidak
sedang mencoba mengkultuskan tokoh. Novelnya ini adalah salah satu usaha dia
untuk memberikan dedikasi, kekuatan, semangat, juga perjuangan yang masih harus
dilanjutkan. Ia benar-benar peduli pada pembacanya. Ia begitu percaya pada
kekuatan buku.
"Penduduk
yang suka membaca, berpikir, dan penuh empati kemungkinannya kecil untuk dapat
dikontrol dan diperdaya." (Julia Alvarez, 569)
Lahir-lahir-lah
lagi, para kupu-kupu!
Ditulis pertama
kali pada: Yogyakarta, 22 Juli 2017
Diedit kembali
pada: Yogyakarta, 25 November 2021
*) Penulis
adalah Kordinator Departemen Media dan Propaganda SERBUK Indonesia, sekaligus
menjadi bagian dari Komite Pekerja Muda