Situs ini sedang dalam masa pemeliharaan.

May Day 2020: Buruh Jateng Melawan Badai PHK dan Mempertanyakan Minimnya Perlindungan Negara!

 


Pers Rilis

Aliansi Gerakan Rakyat Menggugat.

Semarang (Jum’at 1 Mei 2020), Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) yang terdiri dari berbagai elemen Serikat Buruh, Organisasi Mahasiswa, dan Organisasi Masyarakat Sipil di Jateng, menggelar Peringatan May Day melalui aksi penyerahan surat protes terhadap Disnarkertrans Jateng dan kampanye media untuk menghindari penularan Covid 19. Aksi Peringatan Hari Buruh Ini, adalah momentum penting bagi kaum Buruh sehingga harus tetap dilaksanakan untuk merefleksikan perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan yang dialami dalam dunia kerja. Apalagi saat ini, Buruh/Pekerja tengah dihadapkan dengan fenomena Pandemi Covid 19 yang memicu gelombang PHK dan dirumahkanya Puluhan Ribu Buruh/Pekerja di Jawa Tengah, serta ancaman Omnibus Law yang belum dibatalkan pembahasanya di Parlemen.

Belum henti semua derita yang dialami oleh kaum Buruh dimasa Pandemi Covid 19. Pada tanggal 17 Maret 2020 Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19, yang isinya memberikan peluang penentuan besaran upah sesuai kesepakatan antara pengusaha dan buruh yang potensial melanggar ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota karena relasi antara buruh dan pengusaha yang timpang dalam perusahaan ketika melakukan negosiasi dan membuat kesepakatan.

Bukanya memberikan perlindungan bagi Buruh yang sedang berhadapan dengan praktek PHK dan dirumahkan tanpa pemenuhan hak kompensasi PHK dan upah. Surat edaran tersebut, justru lebih mengakomodir dan melegitimasi tindakan perusahaan yang seenaknya merumahkan Pekerja/Buruh dengan menggunakan dalih perusahaan tidak dapat beroperasi, baik karena kehabisan bahan baku ataupun karena kesulitan mendistribusikan hasil produksinya sehingga terpaksa tidak dapat memenuhi hak-hak normatif Buruh/Pekerja sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Jika ditelisik secara normatif, tindakan PHK dan dirumahkanya Buruh tanpa disertai pemenuhan hak-hak normatif oleh perusahaan tersebut, jelas merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak Buruh. Penjelasan terkait hal tersebut, setidaknya dapat dilacak dalam ketentuan Pasal 156, Pasal 161, Pasal 163, Pasal 164, Pasal 165, Pasal 166, Pasal 169, Pasal 172 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang isinya menyebutkan kewajiban perusahaan untuk tetap membayarkan Kompensasi PHK terhadap Buruh/pekerja yang terkena PHK. Begitu pun dengan Buruh yang dirumahkan, perusahaan tetap diwajibkan membayar upah karena pada prinsipnya Buruh bersedia melakukan pekerjaanya tetap mendapatkan upah, sebagaimana ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf (f) Jo. Pasal 185 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang pelanggaranya diancam dengan sanksi pidana maksimal 4 tahun pidana penjara.


Lebih lanjut terkait dengan pembayaran upah yang dapat disepakati antara pengusaha dan dengan Buruh/Pekerja sebagaimana disebutkan dalam isi Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja. Secara hukum surat edaran Menteri Tenaga Kerja tersebut, tidak mengikat dan hanya berlaku secara internal karena bukan merupakan produk Peraturan Perundang-Undangan yang masuk dalam hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Apabila pembayaran upah didasarkan pada ketentuan Surat edaran tersebut tetap dipaksakan, Pengawas Ketenagakerjaan dan kepolisian dapat melakukan proses hukum terhadap pengusaha karena tindakanya melanggar ketentuan Pasal 185 (1) jo. Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Artinya Pengawas Ketenagakerjaan pada Disnakertrans Provinsi dan Kepolisian seharusnya memproses secara hukum pengusaha yang nekat dan melakukan pelanggaran hak-hak pekerja yang disebutkan diatas.

Disamping persoalan PHK dan dirumahkanya Buruh tanpa pemenuhan hak-hak Normatif. Kaum Buruh dan Masyarakat Sipil juga tengah dihadapkan dengan pembahasan Omnibus Law: RUU Cipta Kerja yang belum dibatalkan dan masih terus dibahas Gedung DPR. Padahal sejak awal penyusunanya RUU ini telah di tolak oleh Masyarakat Sipil: Buruh, Petani, Mahasiswa, Akademisi, Nelayan, Masyarakat adat, dan Lembaga Non Pemerintah karena proses penyusunanya tidak melibatkan dan mendengarkan aspirasi dari kelompok masyarakat sipil yang akan terdampak dengan regulasi yang di inisiasi oleh pemerintah dan cenderung mengakomodir kepentingan bisnis para pemodal. tidak hanya terkait proses penyusunan yang dianggap cacat, secara substansi RUU Cipta kerja yang disusun dengan konsep Omnibus Law ini juga dinilai cacat dan akan mengorbankan masyarakat sipil. Khusus untuk isu ketenagakerjaan, Omnibus Law: RUU Cipta Kerja terlihat lebih mengedepankan politik upah murah dan menerapkan konsep hubungan kerja fleksibel (legitimasi Kontrak dan Outsorching) yang merugikan bagi kalangan buruh.

Di masa Pandemi Covid 19 yang menghantam sendi-sendi kehidupan ekonomi masyarakat. Pemerintah dan DPR seharusnya mengeluarkan kebijakan penanganan Covid 19 yang memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat serta membatalkan pembahasan Omnibus Law: yang sejak awal telah ditolak oleh masyarakat sipil. Namun yang terlihat justru sebaliknya, kebijakan PSBB di beberapa daerah dan himbauan untuk melakukan social distancing guna mengurangi penyebaran Pandemic Covid 19, dilakukan tanpa memastikan masyarakat sipil aman dari kerentanan pangan yang menghantui dan perlahan mulai semakin terasa seiring hilangnya pekerjaan, baik buruh di sektor formal yang terkena PHK dan dirumahkan, pekerja sektor informal yang kehilangan pekerjaan, Petani dan Nelayan yang kesulitan menjual komoditas pangan yang dihasilkan, dll. Belum lagi ditambah dengan dikeluarkanya Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan pembahasan Omnibus Law: RUU Cipta Kerja yang tetap dibahas dan belum dibatalkan oleh Pemerintah dan DPR.

Kondisi diatas, sesungguhnya memberikan gambaran betapa lengkapnya penderitaan rakyat di tengah pandemi Covid 19 dan kegagalan sistem ekonomi yang berpihak terhadap kepentingan Pemodal. Dengan demikian Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret dengan menghentikan penerapan sistem ekonomi yang menindas tersebut, dan menggantinya dengan sistem yang lebih adil dan tidak merugikan rakyat. Jika tidak, pertanyaanya adalah, masihkah kita percaya pada Rezim yang katanya berpihak pada rakyat ini?

Berangkat dari situasi dan persoalan diatas, Aliansi Gerakan Rakyat menggugat melalui momentum peringatan hari Buruh Internasional (May Day) ini, mendesak agar Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan seluruh jajaranya serta Dewan Perwakilan Rakyat untuk:

1. Membatalkan secara keseluruhan pembahasan Omnibus Law: RUU Cipta Kerja yang saat ini draftnya masih terus dilanjutkan pembahasanya di gedung Dewan Perwakilan Rakyat;

2. Fokus menangani Pandemi Covid 19 melalui perumusan kebijakan dan tindakan yang tidak hanya berbentuk PSBB dan Kartu Prakerja, tetapi juga memastikan pemenuhan kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar masyarakat dapat terpenuhi.

3. Melakukan pengawasan dan memberikan sanksi tegas bagi pengusaha yang melakukan PHK sewenang-wenang dan merumahkan buruh di tengah pandemi Covid 19 tanpa memenuhi hak-hak normatif sesuai ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

4. Mencabut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19, yang substansinya merugikan Buruh/Pekerja;

5. Memastikan Pengusaha membayarkan THR bagi Buruh/Pekerja secara penuh pada hari raya Idul Fitri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Memastikan perlindungan dan pemenuhan alat pelindung diri yang memadai bagi Tenaga Medis yang menangani Pasien Covid 19.

7. Membuka ruang demokrasi seluas-luasnya dan menghentikan kriminalisasi terhadap Masyarakat Sipil


Narahubung:

Herdin Pardjoangan (LBH Semarang)

0877 7206 9990

Karmanto (FSPIP)

081 5658 6827


Aliansi Gerakan Rakyat Menggugat:

KASBI Jateng, KPBI, FSPIP, Federasi SERBUK Indonesia, SP PUBG, FSPRIN, YLBHI-LBH Semarang, LRC KJHAM, Yasanti, PPR Jateng, Bem KM UNNES, BEM KM Undip, BEM KM UNIMUS, BEM UNISSULA, BEM UNS, BEM FISIP UNS, BEM FIK UNNES, BEM FIS UNNES, BEM FH UNNES, BEM FH UNDIP, Muda Melawan, SEPERMA, EJA POST, LPM Menteng, FNKSDA Semarang, Gusdurian Semarang, Pelita , Aliansi Pelajar Semarang, FMN Semarang, Aksi Kamisan Semarang, Mahasiswa Bergerak.

Serbuk adalah serikat buruh yang di dirikan pada 11 Desember 2013.

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.