Semalam, (12/4) kami berdiskusi online dengan berbagai SBA SERBUK dari Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Sudah sejak kemarin, kami meminta update laporan per-basis pabrik mengenai kondisi di tempat kerja, ketika #Covid-19 melanda. Saya, berusaha menghubungi Ketua-ketua SBA untuk menanyakan detail dan mencatat. Lalu data itu kami kompilasikan. Kami kembalikan lagi ke mereka, dan itu jadi bahan utama diskusi online kami.
Ada 3 gambaran kondisi yang kami dapatkan dari berbagai perusahaan. Pertama, basis yang stabil. Tidak berkurang ordernya, bahkan mengalami kenaikan. Kedua, basis yang mulai mengalami penurunan order. Paling banyak turun 80% dari order normal. Ketiga, menghentikan operasional perusahaan. Berhenti. Stop!
Tetapi, dari ketiga kondisi tersebut, kami akhirnya berkesimpulan pada satu pandangan kritis, bahwa para majikan itu, sangat lihai menunggangi krisis. Apa saja bentuk “menebeng” itu? Dari diskusi kami, terpetakan beberapa gambaran umum.
1. Mereka cengeng, meminta fasilitas kepada Pemerintah. Entah gimana caranya, mereka meminta pemerintah membuatkan regulasi khusus untuk merespon krisis ini. Kami “menduga” (baca: curiga!), lahirnya SE Menkaer terkait #Covid-19, adalah salah satunya. Sangat kecil kemungkinan SE itu keluar begitu saja. Perhatikan poin 4 pada SE tersebut: Pekerja dan Pengusaha dapat membuat kesepakatan untuk membahas upah. Ambil kata kuncinya: KESEPAKATAN. Kesepakatan itu, hanya akan adil dan berimbang kalau posisinya setara. Bisa dibayangkan, bagaimana nasib buruh outsourcing di pabrik garmen di Ungaran sana? Kesepakatan itu bermakna majikan bicara, sambil menginjak kaki buruh dan berkata: mau potong upah atau PHK? Buruh tak punya pilihan lain.
2. Dipenuhi satu, akan minta yang lain. Baru saja SE Menaker makan puluhan ribu korban, sekarang mereka sudah merengek lagi. THR! Mereka bilang berat bagi kami untuk membayar THR. Lalu, mereka merayu paksa pemerintah dengan dua tawaran: perbolehkah kami menunda THR atau pemerintah bantu kami bayar THR! Coba baca pernyataan Menaker Ida Fauziyah buru-buru menyambut (Kompas, 7/04). “Bila perusahaan tidak dapat membayar sesuai ketentuan perundang-undangan maka pembayaran THR dapat ditangguhkan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati,” kata Ida. Suaranya lebih mirip juru bicara organisasi Majikan ketimbang Menaker yang digaji dari pahak rakyat.
3. Beberapa perusahaan yang yang mengalami krisis, kekurangan bahan baku (Seperti PT Jaykay Files, Semarang), buru-buru membuat pengumuman memPHK 368 orang buruhnya. Tanpa omong dengan serikat, HRD memasang pengumuman: 368 pekerja dipecat! Gak ada kompensasi apapun, informasi terakhir, bahkan upah Maret pun belum seluruhnya dibayar. Jadi, mereka menunggangi Panovid-19 ini untuk cuci gudang. PHK buruh! Mereka pikir, kapan lagi ada PHK massal dengan murah seperti sekarang ini?
4. Bentuk keegoisan pengusaha yang lain adalah enggan memberikaninsentif kepada buruhnya. Sebut saja PT XYZ di Karawang yang justru mengalami kenaikan order pada saat pandemi #Covid-19 ini. “Order meningkat, kami diminta lembur,” kata Ketua Serikat dalam diskusi online tadi. Lalu dia bercerita, ketika serikat menyampaikan beberapa tuntutan agar perusahaan memberikan “jaminan” keselamatan krpada pekerja yang tetap bekerja (tambahan APD, suplemen, makanan tambahan, jam istirahat lebih, dll) perusahaan menolak. Mereka hanya membayar upah lembur sesuai perhitungan normatif.
Masih banyak temuan-temuan di lapangan. Serikat pekerja dihadapkan pada situasi sulit. Negosiasi berjalan tidak seimbang karena hanya dihadapi oleh HRD yang tak bisa mengambil keputusan. “Keputusan ditentukan Presiden Direktur,” jawab HRD. Sementara, Presiden Direkturnya Work From Home, entah di Jakarta atau di Singapura. Yang terPHK lebih susah lagi. Pemecatan hanya lewat selembar surat, di papan pengumuman. Di sebelahnya, ada pengumuman tambahan: “SEMUA YANG TERPHK SUDAH KAMI DAFTARKAN KARTU PRA KERJA.” Ketika buruh mengadu ke Kantor Disnaker, hanya bertemu dengan Satpam hanya bersandal jepit, mulut ditutup masker, sambil tetap duduk di pos. Dengan enteng dia menjawab,”Kantor tutup Mas, kalau ada surat, titipkan sini saja, nanti kami sampaikan,” ujar Satpam.
Pengusaha punya semuanya untuk melakukan itu. Tim lobby yang luwes, bingkisan menjelang lebaran dan natal, voucher belanja untuk Kepala Disnaker, Paket Umroh untuk Wakil Bupati, dan sumbangan “alakadarnya” saat Pilkada. Semua, semacam biaya atau uang muka untuk pesan kemudahan.
Sedangkan buruh? Yang ada cuma tenaga. Akumulasi massa. Mari kita diskusikan, bagaimana memaksimalkan itu semua di masa krisis ini. Kita butuh seruan dan kepemimpinan organisasi serikat buruh nasional (bahkan Internasional) yang kuat. Dan tidak terkotak-kotak.