Dalam berbagai kesempatan, Pemerintah menyatakan bahwa penyusunan Omnibus Law Cilaka dimaksudkan untuk memperbaiki iklim investasi. Karena UU ini sangat dibutuhkan, penyusunannya harus cepat, singkat, dan meminimalisir semua hambatan. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan, kalau harus mengajak bicara dengan semua stakeholder, kita akan kehilangan momentum. Dalam acara Mata Najwa, Mahfud menyatakan bahwa dirinya memang memberikan masukan kepada Presiden Jokowi untuk tidak melibatkan banyak pihak. “bisa-bisa, baru selesai 2 tahun kalau semua diajak bicara,” kata Mahfud.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), M Nur Sholikin menanggapi hal tersebut dan menyatakan bahwa Pemerintah mengabaikan ketentuan Pasal 96 Undang-Undang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan bahwa penyusunan sebuah rancangan UU harus melibatkan partisipasi publik, dengan dialog dan meminta masukan masyarakat. “Dalam penyusunan RUU Omnibus Law, langkah tersebut sengaja dilanggar oleh pemerintah,” tegas Sholikin. Dikutip dari hukumonline, lebih lanjut Sholikin juga menyatakan bahwa sebenarnya, pendekatan omnibus law dalam penyusunan Undang-Undang bukanlah hal yang menakutkan. Sebaliknya menurut Sholikin, cara pemerintah dalam menyusun sejumlah RUU dengan pendekatan Omnibus Law lah yang menakutkan.
Fakta di lapangan juga menunjukkan hal yang sama, Serikat Buruh melakukan penolakan atas Omnibus Law karena dua alasan serius. Pertama, isi dan substansinya diyakini akan mengebiri hak-hak dasar buruh. Kedua, cara penyusunanya sembunyi-sembunyi, mengendap-endap seperti maling mau masuk rumah!