PERNYATAAN SIKAP HARI BURUH INTERNASIONAL, 1 MEI 2019.
Dampak krisis keuangan global 2008 nampak sekali belum akan mereda, meskipun dunia sudah berjalan sepuluh tahun lamanya sejak krisis tersebut merontokkan pusat-pusat kapitalisme global, Eropa dan Amerika Serikat. Dalam pertemuan IMF dan World Bank di Washington, 9 April kemarin. Salah satu topik yang dibahas IMF dalam laporannya itu berkaitan dengan utang yang naik drastic akibat krisis keuangan global pada 2008. IMF mencatat, utang global pada 2008 mencapai 210% (US$ 113 Triliun) dari PDB Global. Sedang utang global saat ini mencapai 250% (US$ 167 Triliun) dari PDB global.
Memang, ada Negara-negara yang terkena dampak krisis keuangan pada tahun itu berhasil keluar dari krisis, tapi itu sementara. Hal itu karena pinjaman dan dolar yang dicetak dalam jumlah yang sangat banyak. Namun, sekarang, 10 tahun setelah itu, Negara-negara yang mendapat pinjaman untuk keluar dari krisis keuangan 2008 belum mampu melunasi utangnya.
Krisis Kapitalisme global telah membawa dunia pada peperangan, kemiskinan global, kerusakan lingkungan, ketidakadilan berbasis identitas gender dan seksual.
Bukan tanpa alasan kapitalisme membawa dunia pada situasi yang buruk, hal itu dilakukan demi akumulasi Super Profit dan tambal sulam, restorasi, dari krisis ke krisis yang(padahal) inheren dalam system kapitalisme. Kapitalisme global juga menyebabkan terjadinya menguatnya sentiment-sentimen suku, agama, ras maupun identitas seksual.
Di dalam negeri, Indonesia, kapitalisme global yang bekerjasama dengan elit politik, para tuan tanah, dan birokrat, mengakibatkan penderitaan rakyat yang tak terperikan lagi. Perampasan tanah semakin ajeg dilakukan demi eksploitasi bahan mentah, kebun-kebun kelapa sawit raksasa, dan infrastruktur. Yang mengakibatkan lenyapnya lahan-lahan pertanian dan rusaknya lingkungan akibat penggundulan hutan dan pengerukan bahan tambang. Hal itu yang menjadi sebab utama urbanisasi dan pengangguran karena hilangnya lapangan kerjaan di pedesaan.
Pemilu 2019 dan yang sudah-sudah sama sekali tidak menolong rakyat pekerja keluar dari penderitaannya, karena panggung politik itu miliknya para Oligarki. Kekuasaan hanya bergilir di antara mereka saja. Rakyat semakin menderita keadaannya, sebab maneuver elit politik telah membelah rakyat pada sentiment-sentimen Rasial.
Jika terus saja dibiarkan terjadi, situasi ini akan meminta ‘pengorbanan’ dari pihak rakyat lebih banyak lagi. Oleh karena itu kita, Buruh, Kaum tani, Mahasiswa, Kaum miskin perkotaan, dan kelompok terpinggirkan lainnya, harus lantang berteriak: Cukup! Kami akan mengambil jalan keluar kami sendiri.
Oleh karena keadaan di atas, dalam Peringatan Hari Buruh Internasional tahun 2019 kami dari Aliansi Rakyat untuk Satu Mei yang terdiri dari gabungan berbagai organisasi menyatakan sikap sebagai berikut:
Perubahan di Indonesia, hanya bisa membawa manfaat maksimal bagi rakyat, jika rakyat sendirilah yang mengambil inisiatif jalan perubahan secara Ekonomi, Politik dan kebudayaan. Inisiatif rakyat ini hanya efektif jika terwujud dalam persatuan gerakan.
Persatuan gerakan rakyat ini tidak bisa ditunda-tunda. Sebab di depan mata rakyat Indonesia akan berhadapan dengan: Perampasan ruang hidup rakyat, pengangguran, perusakan lingkungan, dan semakin represinya apparatus Negara.
Dengan kata lain, Rakyat harus membangun wadah politiknya sendiri. Sekarang juga.
ARUS sebagai embrio Peratuan Rakyat akan segera menggagas rencana kerja bersama kelompok-kelompok gerakan lainnya. Untuk mewujudkan suatu gerakan politik nasional yang bertumpu pada partisipasi rakyat.
ARUS membawa nilai-nilai kesetaraan terhadap sesama manusia terlepas dari identitas suku, agama, ras dan gender. Untuk itu ARUS menolak sentiment-sentimen berbasis pada identitas karena akan memecah belah rakyat.
Demikian Pernyataan Sikap Aliansi Rakyat untuk Satu Mei.
Yogyakarta, 1 Mei 2019.
ARUS:
(KPR, P3S, SERBUK Indonesia , LMND, PRD, SBSI, FNKSDA, FI, dan SEKBER)
Narahubung: 08976201739 (Restu)