Tulisan ini saya dedikasikan untuk dua sahabat muda saya, Alghif dan Arif; keduanya adalah pemimpin muda LBH Jakarta. LBH Jakarta merupakan lembaga yang saya kenal sejak 2001, ketika saya masih menjadi buruh pabrik kertas, terkadang seminggu sekali mengunjungi kantor itu untuk berdiskusi dalam advokasi kasus PHK yang saya alami sesudah pemogokan di pabrik milik Sinar Mas, PT Pindo Deli.
Ketika pelantikan Arif Maulana digelar di gedung bersejarah itu, saya sedang dalam perjalanan ke Temanggung, kota kecil di lereng Sumbing Sindoro. Saya terpaksa melewatkan momentum indah tersebut. Rasanya baru kemarin saya menghadiri serah terima kepemimpinan Direktur LBH Jakarta dari Mayong kepada Alghif, dan sekarang sudah terjadi lagi. Sungguh, waktu bergerak begitu cepat, melebihi pikiran-pikiran yang ada dalam benak kita.
Sebelumnya, 3 tahun lewat, Mayong memberikan catatan penting terkait kepemimpinannya. Dalam pidato pisah sambutnya, Mayong menegaskan pentingnya keterbukaan dalam keuangan dan kerja-kerja yang belum selesai. “Banyak mimpi tertunda yang belum selesai, banyak harapan diletakkan di pundak saya, dan kini, kita berharap akan dilanjutkan secara lebih baik di tangan anak muda bernama Alghif,” tukas Mayong pada 11 Agustus 2015. Saya menggaris bawahi pernyataan Mayong tentang transparansi keuangan, sebab, setiap rupiah haruslah bermakna bagi si miskin yang dibela; terutama dana yang dikumpulkan melalui publik seperti SIMPUL LBH Jakarta.
Tiga tahun kepemimpinan Alghif telah usai, pencapaiannya luar biasa. Kawan-kawan buruh mendapatkan tempat yang istimewa di gedung itu. “LBH Jakarta seperti rumah istirahat bagi kami. Semua bersahabat, semua diterima dengan tangan terbuka,” ujar Ketua Umum Federasi SERBUK Indonesia Subono. Bukan saja dalam kenyamanan suasana pertemanan yang menonjol di kantor itu, tapi juga penataan yang menurut saya sangat apik, rapi, disiplin, tertib, meskipun tidak menjadikannya sebagai kantor yang kaku dan birokratis. Penerimaan klien yang mudah, sistem administrasi yang rapi, pengaturan ruangan yang simpel, dan berbagai suasana akrab lainnya.
Kepemimpinan Alghif, tentu saja tidak sangat mulus, sebab tercatat ada riak-riak kecil yang mewarnai kepemimpinannya. Perbedaan pendapat yang meruncing dengan beberapa pengabdi hukum menjadi beban berat yang harus dipikulnya. Tapi, saya harus mengatakan dengan jujur, inilah hebatnya lembaga ini. Tak pernah semua persoalan internal itu mengubah komitmen lembaga, tak sedikitpun permasalahan itu mengurangi hak klien yang harus dibela. Dan sekali lagi, saya respek dengan kepemimpinan Alghif yang mampu melewati semua problem itu. Dan tentu saja dengan mereka yang berbeda pendapat, saya tetap hangat bersahabat.
Sekarang, di bawah kepemimpinan Arif kita juga patut berharap agar LBH Jakarta bertumbuh semakin baik dan tetap hangat bagi siapapun. Bagi kawan-kawan buruh, LBH Jakarta merupakan “juru damai” yang utama. Ketika Serikat A berbeda pendapat dengan Serikat B, tidak mau menghadiri undangan Serikat C, tapi semua rela bersatu ketika LBH Jakarta yang menjadi tuan rumah. Sederhana sepertinya, tapi diam-diam kami memang mengandalkan LBH Jakarta untuk urusan yang demikian.
Terima kasih Alghif atas pelayanan terbaik sepanjang 3 tahun. Selamat bertugas dengan penuh dedikasi dan kecintaan untuk Arif Maulana. Sambil saya membayangkan, kalian semua akan bersatu dalam panggung bersama Diponers 74 yang melegenda itu. Saya membayangkan Mayong memainkan gitarnya, Asfin bermain piano, Alghif menggesek celo yang mendayu….. Dan Arif, mungkin membaca bait-bait puisi disela musik penuh harmoni itu.
Terima kasih Alghif, dan Selamat Bertugas Arif!