Melalui layar televisi, dalam siaran langsung final beregu putra Bulu tangkis Asian Games 2018, wajah Anthony Ginting meringis menahan sakit yang luar biasa. Akhirnya, dia harus menyerah tumbang pada detik-detik terakhir saat laga final beregu putra gelaran Asian Games 2018 melawan wakil dari China, Shi Yuqi.
Seperti dilansir oleh Indosport (20/08) Ginting terpaksa kalah lantaran mengalami kram otot yang dialaminya. Pada salah satu sesi istirahat di sela pertandingan, terlihat tim dokter nampak memberikan perlakuan medis untuk mengurasi rasa sakit yang dirasakan Ginting. Namun, akhirnya Ginting harus menyerah dan harus ditandu untuk ke luar lapangan menuju ruang medis untuk mendapatkan perawatan intensif.
Dari layar televisi, reporter memberikan pernyataan yang dramatis,” Kita tidak tahu, bagaimana regulasi mengatur. Tapi, keselamatan dan masa depan atlet harusnya menjadi nomor satu.” Pernyataan senada juga disampaikan oleh Indosport, mengutip Sekretaris Jenderal Pengrus Pusat Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Achmad Budiharto, “Luka yang diderita Ginting lumayan parah. Kita harus mengutamakan keselamatannya.”
Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia Subono juga tergerak untuk memberikan pandangan atas peristiwa yang viral di media sosial tersebut. Menurutnya, prestasi dan medali emas memang penting, tapi keselamatan, kesehatan, dan masa depan atlet harus menjadi pertimbangan yang utama. “Seharusnya, tim dokter sudah bisa menduga sejak awal kondisi Ginting dan segera memutuskan agar segera berhenti. Ini dimaksudkan agar cedera tidak semakin parah,” ujar Subono.
Beda Atlet Beda Buruh
Subono memberikan apresiasi kepada semua pihak yang telah mendukung Ginting sehingga lekas pulih dari cedera dan segera bisa bertanding kembali. Bahkan, menurut Subono, Presiden sampai menunggu di ruang perawatan medis demi menunjukkan simpati dan dukungannya. “Seandainya perhatian Presiden terhadap buruh seperti itu, tentu akan sangat membanggakan,” lanjut Subono.
Ketua Departemen Hukum, Advokasi, dan K3 Federasi SERBUK, Iwan Sutisna menambahkan bahwa sama halnya dengan atlet yang berlaga di lapangan pertandingan, kondisi buruh sejatinya juga sama. “Buruh bekerja, di lapangan kerja, di tempat kerja, sama seperti orang bertanding. Menang atau kalah, pulang sehat atau kembali tinggal nama,” tegas Iwan Sutisna.
Mengutip berita yang dimuat dalam detik.com (20/8), Iwan menceritakan bahwa seorang atlet yang berjuang mati-matian demi sebuah gelar, demi sebuah medali, demi keharuman nama bangsa sama seperti buruh. “Buruh bekerja demi keluarga. Tapi, sejatinya dia bekerja untuk sebuah tujuan yang lebih besar, ekonomi negara tergantung bagaimana buruh bekerja. Gedung-gedung, pabrik-pabrik, tambang-tambang, dan bahkan hingga operasional kapal pesiar yang mewah, semua bergerak karena tangan buruh,” ujar Iwan.
Peneliti dari Institut Sosial Perburuhan Surabaya (ISBS) Domin Damayanti memandang dari sisi yang berbeda. Peristiwa di layar televisi yang disaksikannya, mengingatkan kepada nasib buruh-buruh perempuan yang bekerja di pabrik pengolahan udang di Lamongan Jawa Timur ketika sedang mengalami haid. Sumi, salah seorang buruh perempuan di sektor pangan tersebut, menurut Domin, juga mengalami sakit yang sama seperti Ginting. “Kalau pas haid itu kan nyeri, perut kram banget, kerja harus berdiri selama delapan jam, ngaduk empat puluh tong terus menerus,” ungkap Domin. Menurut Domin, eksploitasinya sudah sangat kejam dan perusahaan hanya peduli dengan produksi saja.
Lebih lanjut, Domin menjelaskan bahkan buruh perempuan sering mengalami pingsan saat bekerja karena sakit menahan nyeri haid. “Meskipun pingsan, mereka tidak berani ijin berobat atau pulang, sebab, begitu buruh tersebut pulang, itu artinya tidak dibayarkan upahnya,” cerita Domin.
Perhatian Pemerintah kepada Buruh Sangat Minim
Perhatian Pemerintah terhadap atlet, terlebih dikaitkan dengan event Asian Games 2018, dapat dikatakan sangat besar. Tentu saja, ini dikarenakan ambisi besar Pemerintah untuk menempati posisi 10 besar perolehan emas. “Wajar saja apabila Pemerintah memberikan perhatian berlebih, Asian Games menjadi pertaruhan nama besar Indonesia,” ujar Subono. Sedangkan perhatian Pemerintah terhadap kehidupan buruh jauh lebih kecil. “Ini, merupakan diskriminasi. “Buruh juga memberikan kontribusi besar bagi nama besar bangsa ini, terutama berkaitan dengan pencapaian di bidang ekonomi,” lanjut Subono.
Sebagaimana dikutip Grid. Id (20/8), bahkan Presiden Jokowi memberikan perhatian khusus pada kondisi Ginting yang mengalami cedera. “Jokowi bahkan menunggui Ginting di ruang medis,” ujar Subono.” Tapi, perhatian bagi buruh, tidak sebesar itu. Dalam catatan Federasi SERBUK, Jokowi bahkan menerbitkan berbagai paket kebijakan ekonomi yang merugikan buruh seperti Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
Senada dengan Subono, Iwan Sutisna menegaskan kondisi buruh yang selalu terpinggirkan, jangankan perhatian dan perlakuan yang manusiawi, dalam pemberitaan media pun terkadang selalu bernada miring. Buruh yang melakukan aksi, demo, mogok kerja, lebih sering dimunculkan sebagai sorotan negatif. Sementara, kondisi buruh yang termarjinalkan karena upah murah, kecelakaan kerja yang dideritanya, dan kehilangan pekerjaan akibat PHK sewenang-wenang tak pernah menjadi berita utama. Kita merindukan hadirnya Pemerintah yang peduli buruh, hadirnya Presiden yang peduli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Buruh. Tapi entah kapan… (khi)