Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Eny Rofiatul menjelaskan bahwa teks perundang-undangan (pasal 81 Undang-undang Ketenegakerjaan tidak mampu “membaca” kondisi sosiologis-budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Pelaksanaan aturan ini dipengaruhi persepsi masyarakat yang bias gender dan tidak memahami kesehatan reproduksi dan pada akhirnya pemberi kerja yang dominan menerjemahkan peraturan teknis di tempat kerja menjadi sangat diskriminatif. Undang-undangnya semakin liberal dan tidak berpihak. Buruh Perempuan berada dalam posisi terpojok.
Senada dengan Eny, Dosen Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menyatakan bahwa karakter pokok dari liberalisasi itu adalah menihilkan, bahkan menghilangkan sama sekali peran negara. Liberalisasi justru memberikan ruang bagi pengusaha membangan penafsiran subjektif mengenai kondisi syarat-syarat kerja yang diinginkan.
Pada akhirnya buruh akan dipaksa berhadap-hadapan dengan pengusaha. Dalam situasi buruh dan serikat, cenderung belum terorganisir dengan baik, syarat dan kondisi kerja versi pengusaha itu akan terus dipertahankan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 81, ayat (1) dan (2) sebagai pengganti Undang-Undang Kerja Nomor 12 Tahun 1948, pasal 13 telah mengubah perlindungan afirmartif bagi buruh perempuan yang akan cuti haid menjadi lebih liberal dan memaksa buruh perempuan berhadapan langsung dengan pengusaha yang lebih kuat posisinya.
Tugas Serikat Buruh memang semakin berat: mengembalikan perlindungan atas buruh perempuan kembali pada jalur sebenarnya.
#IWD2018
#BURUHPEREMPUANBERSERIKAT
#CUTIHAIDPENTINGBANGET
#AYOCUTIHAID
Sumber: Penelitian Cuti Haid oleh Khamid Istakhori.