“Rata-rata, 98,000-100,000 kasus kecelakaan kerja setiap tahun, 2.400 pekerja meninggal and 40% cacat. Sektor paling mematikan: Konstruksi (31.9%), Manufaktur (31.6%), transportasi (9.1%). Semua buruh ini mati di tempat kerja,” papar Darisman dari Local Innitiative for OSH Network (LION Indonesia) diskusi pannel mengenai penyakit Akibat Kerja yang bertempat di LBH Jakarta.
Lebih lanjut, Darisman menjelaskan bahwa data BPJS (2016) memperkirakan setiap 9 jam, seorang buruh kehilangan nyawanya. Tahun 2015, terjadi 2,375 meninggal dari 105,182 kecelakaan.
Agustin Wahyu Ernawati , ST. MSi dari Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Kementrian Ketenagakerjaan RI yang juga hadir sebagai pembicara menjelaskan bahwa Dewasa ini, program- program/sistem K3L (Keselamatan Kesehatan & Lingkungan Kerja) secara berlanjut ditingkatkan terus.
Di negara manapun diseluruh dunia, sekarang ini tengah dilakukan upaya untuk mengidentifikasi bahaya-bahaya yang berpotensi menimbulkan kecelakaan serta melakukan tindakan pencegahan supaya kecelakaan tidak terjadi. “Upaya yang dilakukan selalu harus bersinergi antar semua pemangku kepentingan. Pemerintah, Serikat Buruh dan Masyarakat serta dunia usaha,”lanjut Ernawati.
Menanggapi belum optimalkan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh instansi pemerintahan, lebih lanjut Ernawati memberikan gambaran bahwa kekurangan tenaga pengawas memang masih menjadi faktor penting, tetapi hal ini seharusnya tidak boleh menjadi alasan sebab sistem manajemen K3 ujung tombaknya ada di tempat kerja. “Sistem Manajemen K3 (SMK3) itu ada di perusahaan, disana ada serikat buruh yang juga harus berperan. Mereka adalah ujung tombak. Untuk itu penting bagi serikat buruh selalu menjalin komunikasi dengan pemerintah untuk saling mendukung upaya pencegahan dan pengawasan,” lanjut Ernawati.
Berkaitan dengan kecelakaan kerja yang terjadi di berbagai sektor, Ernawati menjelaskan bahwa sekarang terjadi peningkatan jumlah kecelakaan kerja di sektor konstruksi. “Dari angka semula yang 31,9 % datanya terus bertambah dan sekarang jumlahnya mencapai 38%. Faktornya bermacam-macam, selain karena proyek infrastruktur sedang sangat marak, faktor cuaca dan kelalaian dari korporasi juga berpengaruh,” jelas Ernawati.
Menanggapi hal itu, Subono, Ketua Umum Federasi SERBUK Indonesia secara tegas menyatakan bahwa kondisi lain yang juga harus menjadi perhatian adalah perubahan mendasar pada regulasi. “Undang-undang K3 yang ada, yakni Undang-undang K3 nomor 1 tahun 1970 sudah berusia 47 tahun. Kami melihat, dari sisi regulasi sudah tidak mampu mengimbangi perubahan dunia industri yang pesat,” tegas Subono.